Isu Komunisme, Komando Jihad, Hingga Jokowi dan Trump



Isu Komunisme, Komando Jihad, Hingga Jokowi dan Trump

Oleh TONTO



AKHIR-akhir ini tampak fenomena menarik, sesosok ulama berkeliling sejumlah tempat di Indonesia untuk membangkitkan kesadaran tentang bahaya komunisme. Hal ini jadi mengingatkan saya pada hal serupa yang pernah dilakukan Hispran di era 1970-an.



Hispran adalah kependekan dari nama tokoh Darul Islam yaitu Haji Ismail Pranoto, yang pernah menjabat sebagai Komandan Tentara Islam Indonesia (TII) di masa Kartosoewirjo. Pada gilirannya, Hispran dikenal sebagai tokoh Komando Jihad bersama Danu Muhammad Hasan dan lain-lain.



Isu komunisme bagai bagian tak terpisahkan dari dinamika umat Islam pergerakan, bahkan hingga kini. Konstituen Darul Islam pernah didapuk Opsus di bawah pimpinan Ali Moertopo, untuk memimpin upaya membendung bahaya komunisme pasca kekalahan Amerika Serikat dalam peperangan panjang melawan komunisme Vietnam Utara.



Hispran sangat menonjol dalam mengemban misi membendung isu komunisme yang akan membahayakan negara kesatuan Republik Indonesia. Dia berkeliling tanah air menggemakan ancaman bahaya komunisme pasca perang Vietnam (1955-1975).



Namun, beberapa bulan sebelum berlangsungnya Pemilu 1977, Hispran masuk kloter pertama yang ditangkap aparat keamanan dalam kaitan kasus Komando Jihad. Ia ditangkap pada Januari 1977 dengan tuduhan berupaya membentuk kembali Darul Islam untuk menggulingkan pemerintah (Soeharto). Hispran diadili pada September 1978 dan diganjar vonis seumur hidup. Dikabarkan, ia meninggal dalam tahanan pada tahun 1995.



Hispran juga dikenal sebagai sosok yang pernah mem-bai’at Abdullah Sungkar (AS) dan Abu Bakar Ba’asyir (ABB) dalam konteks gerakan Komando Jihad. Bai’at dilakukan di rumah Abdullah Sungkar di Desa Ngruki, Kecamatan Cemani, Solo (Muqoddas, 2011:437). AS dan ABB mendirikan Jama’ah Islamiyah (JI) pada 1993, setelah hengkang ke Malaysia pada 1985.



Paham Komunisme dan Sarekat Islam



Paham komunisme sudah eksis di Nusantara jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, antara lain dibawa oleh Sneevliet, warga Belanda, setidaknya sejak ia tinggal di Hindia Belanda selama lima tahun mulai 1913. Pada tahun 1914 Sneevliet mendirikan organisasi bernama Perhimpunan Demokratis Sosial Hindia atau Indische Sociaal Democratische Vereeniging disingkat ISDV.



Paham komunisme menjadi menarik sebagian kalangan karena ditawarkan ke tengah-tengah anak bangsa yang berada dalam kungkungan kolonialisme. Sneevliet menyusupkan paham komunisme ke dalam Sarekat Islam (SI) melalui Semaoen dan Darsono.



Sarekat Islam (SI) merupakan nama baru dari SDI (Sarekat Dagang Islam), yang digunakan sejak 1912 setelah HOS Tjokroaminoto memimpin organisasi ini. SDI (Sarekat Dagang Islam) didirikan pada 1905 oleh Hadji Samanhoedi.



Semaoen yang merupakan murid HOS Tjokroaminoto, bergabung ke dalam Sarekat Islam sejak 1914. Setahun kemudian, Semaoen bertemu dengan Sneevliet, dan mulai bergiat di ISDV sejak 1915.



Murid HOS Tjokroaminoto selain Semaoen adalah Ir Soekarno dan SM Kartosoewirjo. Soekarno yang berpaham nasionalis kelak memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, sedangkan SM Kartosoewirjo kelak memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) pada Agustus 1949.



Paham komunis menarik hati Semaoen dan tokoh muda SI lainnya, karena mereka merasakan Sarekat Islam kurang memperhatikan nasib buruh pada umumnya. Bersamaan dengan itu, Sneevliet juga gencar menyusupkan anggota ISDV ke dalam Sarekat Islam, sehingga SI pun terbelah menjadi SI Putih dan SI Merah.



Pada tahun 1920, ISDV berubah nama menjadi PKH (Partai Komoenis Hindia). Semaoen menjabat sebagai Ketua, sedangkan Darsono menjabat sebagai Wakil Ketua. Selain Semaoen dan Darsono, yang juga aktif di PKH adalah Alimin dan Moeso. Tahun 1924 PKH berganti nama menjadi PKI (Partai Komoenis Indonesia).



Tahun 1926, dibawah pimpinan Alimin dan Moeso, PKI melakukan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda, di Jawa Barat dan Sumatera Barat. Namun berhasil ditumpas. Maka, sejak 1927 PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah kolonial Belanda.



Sejak itu, PKI bergerak di bawah tanah, sampai Jepang menyerah kepada sekutu pada 1945, mereka muncul kembali. Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.



Perjanjian Renville yang berlangsung sejak Desember 1947 hingga Januari 1948, membuahkan hasil yang tidak memuaskan, karena dianggap menguntungkan Belanda. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong bagi Moeso untuk memproklamasikan Republik Soviet Indonesia di Madiun, pada September 1948. Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh TNI. Setahun kemudian, SM Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam Indonesia pada Agustus 1949 di Malangbong, Jawa Barat. SMK juga kecewa dengan hasil kesepakatan Perjanjian Renville.



Gerakan SMK menimbulkan konflik berkepanjangan dengan pemerintah dan TNI hingga tahun 1962. SMK berhasil ditangkap hidup-hidup pada 1962. Menurut pengakuannya, gagasan mendirikan Negara Islam yang meliputi seluruh wilayah Indonesia sudah dicita-citakannya sejak masa kolonialisme (Dengel, 2011:216).



Untuk menjaga eksistensinya, PKI mendukung setiap kebijakan Soekarno. Barulah setelah kudeta berdarah 1965, dan pemerintahan Soekarno digantikan Soeharto, PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang.



Di masa Orde Baru, komunisme adalah ancaman yang harus selalu diwaspadai, ancaman ideologis yang sewaktu-waktu bisa bangkit, sehingga disebut dengan istilah bahaya laten. Hal ini beralasan, mengingat kemampuan mereka yang begitu cepat mengkonsolidasikan diri dalam tempo singkat, sebagaimana pernah terjadi pada masa pra kemerdekaan dan awal kemerdekaan.



Selain itu, isu komunisme juga menjadi komoditas politik untuk menjatuhkan reputasi seseorang. Isu bahaya komunisme juga digunakan untuk kepentingan politik lain, misalnya untuk menaikkan perolehan suara partai penguasa. Hal ini pernah terjadi di tahun 1970-an, dan terkenal dengan nama Komando Jihad (Komji).



Komando Jihad



Istilah Komando Jihad sudah muncul sejak 1965, ketika pada pertengahan Februari 1965 Abdul Kadir Jaelani menggelar apel akbar mendukung memorandum DPRGR agar MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk mencabut kewenangan Presiden Soekarno (Muqoddas, 2011:94).



Namun, Komando Jihad versi Abdul Kadir Jaelani tak ada kaitannya dengan Komando Jihad yang benihnya sudah tumbuh sejak 1968 sebagai sebuah gerakan untuk menghidupkan kembali gerakan DI (Darul Islam) yang bercita-cita menegakkan NII (Negara Islam Indonesia).



Salah satu putra SM Kartosoewirjo, Dodo Muhammad Darda pada tahun 1968 menginisiasi sebuah pertemuan rahasia untuk menghidupkan kembali visi DI mendirikan negara Islam. Pertemuan rahasia ini dihadiri oleh sejumlah orang kepercayaan SM Kartosoewirjo. Mereka sepakat menggunakan istilah Komando Jihad sebagai nama gerakan mereka (Conboy, 2007:146-147).



Tujuan gerakan ini, mewujudkan impian anggota jaringan DI berupa mendirikan negara Islam dengan menempuh jalan berperang (Muqoddas, 2011:96).



Fakta ini menegaskan bahwa gerakan Komando Jihad memang sebuah aksi terencana, yang mengingkari sumpah setia kepada Republik Indonesia, sebagaimana pernah mereka ucapkan pada Agustus 1962.



Pada Agustus 1962, Soekarno memberikan amnesti kepada sejumlah petinggi DI antara lain Danu Muhammad Hasan. Mereka adalah tokoh DI yang sudah menyatakan menyerah kepada pemerintahan Soekarno dan menyatakan ikrar bersama yang intinya setia kepada pemerinah, setia kepada UUD 1945, membantu pemerintah dan alat negara, serta selalu berusaha menjadi warga negara yang baik dan berguna dengan dijiwai Pancasila (Muqoddas, 2011:108).



Sejak 1965, Ali Moertopo melakukan penggalangan terhadap kelompok-kelompok radikal seperti PRRI, Permesta, termasuk kelompok DI. Danu Muhammad Hasan dari DI termasuk yang digalang, menjadi informan Opsus sejak 1965. Melalui Danu, Opsus mendapatkan informasi penting tentang gerakan Komando Jihad, anasir DI yang masih berhasrat menghidupkan kembali cita-cita SM Kartosoewirjo mendirikan negara Islam.



Menghadapi Pemilu 1971, Opsus memobilisasi konstituen DI (Komando Jihad) untuk mendukung Golkar, setelah sebelumnya Opsus memberikan konsesi penyaluran minyak tanah di sejumlah daerah di Jawa kepada mereka. Golkar meraih suara terbanyak pada Pemilu 1971, yaitu 236 dari 360 atau 62,82 persen.



Penggalangan yang dilakukan oleh Ali Moertopo terhadap kelompok DI ini, ternyata dimaknai sebagai peluang bagi mereka untuk menghidupkan kembali cita-cita yang kandas pasca tertangkapnya SM Kartosoewirjo. Sepanjang satu dasawarsa (1965-1975) anasir DI melakukan konsolidasi.



Keberhasilan konsolidasi ini mereka nyatakan melalui sebuah pertemuan rahasia yang diselenggarakan di Jalan Mahoni, Tanjungpriok, Jakarta Utara pada tahun 1974. Pertemuan rahasia ini dihadiri oleh pimpinan DI dari Aceh, Jawa, dan Sulawesi Selatan. Kemudian pada tahun 1975, pembahasan tentang gerakan Komando Jihad kembali berlangsung melalui pertemuan yang diinisiasi oleh Danu Muhammad Hasan dan Gaos Taufik (Muqoddas, 2011:100-102).



Upaya penggalangan tidak selalu membuahkan hasil sesuai harapan dan perkiraan. Setidaknya, itulah yang terjadi pada kasus DI. Arah perkembangan bisa tak terkendali.



April 1975 Perang Vietnam baru saja usai, dengan kekalahan di pihak Amerika dan sekutunya. Kekalahan Amerika dan sekutunya pada Perang Vietnam ini akan sangat membahayakan posisi Indonesia berupa adanya infiltrasi komunisme melalui perbatasan Indonesia-Malaysia (ICG, 2002).



Opsus memainkan isu bahaya komunisme ini dengan melansir alasan bahwa hanya Darul Islam yang bisa membendung infiltrasi komunis tersebut. Sekaligus, dalam rangka memobilisasi suara untuk Golkar pada Pemilu 1977. Namun, untuk Pemilu 1977, Komando Jihad mengisyaratkan tidak akan sepenuhnya mengarahkan konstituennya untuk Golkar, tetapi juga untuk PPP (Conboy, 2007:152).



Beberapa bulan sebelum berlangsungnya Pemilu 1977 yang ditetapkan pada tanggal 29 Mei, terjadi penangkapan terhadap sejumlah besar konstituen Komando Jihad. Dalam hal ini, Danu sang informan Opsus dinyatakan buron (Conboy, 2007:153).



Salah satu putra Danu Muhammad Hasan, yaitu Hilmi Aminuddin, pada era 1980-an menjadi pelopor gerakan Ikhwanul Muslimin di Indonesia, yang pada gilirannya berwujud menjadi Partai Keadilan (kemudian Partai Keadilan Sejahtera) pada masa reformasi. Hilmi Aminuddin juga pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri NII (Negara Islam Indonesia), dan ditangkap Kopkamtib pada tahun 1980, kemudian dibebaskan beberapa tahun kemudian sekitar tahun 1983-1984 (Muqoddas, 2011:398).



Dari Jokowi Hingga Trump



Di masa lalu, isu bahaya komunisme berhasil memikat kelompok garis keras, dan sebagian kelompok awami masyarakat Indonesia. Di masa kini, isu komunisme juga gencar digemakan. Pastinya untuk kepentingan kekuasaan menjelang pemilu 2019 yang akan datang.



Pada musim pemilihan presiden periode sebelumnya, isu komunisme belum terlalu serius digunakakan untuk menjegal lawan politik. Isu yang digemakan untuk menjegal Jokowi adalah bahwa mantan walikota Solo ini keturunan Cina dan non Muslim. Namun isu yang tak sesuai fakta tersebut tak mampu membendung kemenangan Jokowi-JK sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019.



Sejak awal Jokowi menjadi Presiden RI ke-7, isu komunisme gencar disuarakan terhadap dirinya. Bahkan berlanjut dengan aksi yang bisa ditafsirkan berupaya menggulingkan pemerintahan Jokowi-JK melalui serangkain aksi massa. Aksi massa dengan tema membela agama, muncul dari kasus ‘penodaan agama’ yang dituduhkan kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.



Isu komunisme yang diarahkan kepada Jokowi bahkan hingga menyasar logo Bank Indonesia, yang dipaksakan sekelompok orang pendukung aksi masa serial tadi, bahwa di dalam logo itu termuat gambar palu arit, logo khas PKI.



Ternyata, isu komunisme yang menyasar Jokowi juga terjadi di AS, ketika musim pemilihan presiden di sana sedang berlangsung, tahun lalu. Jika isu komunisme yang menyasar Jokowi dikaitkan dengan RRT (Republik Rakyat Tiongkok), Trump dikesankan ada pertalian dengan Russia yang komunis. Ada juga video parodi tentang Trump yang digambarkan sebagai agen Russia.



Selain itu, media massa Amerika juga memberikan kesan bahwa Trump itu anti Islam. Meski kenyataannya, tidak seekstrem dalam pemberitaan. Menurut Jafar Karim, kesan ekstrem itu sengaja dipublikasikan oleh media massa di sana yang memang condong kepada Hillary Clinton.



Meski ada kemiripan pattern of action yang berkaitan dengan isu komunisme yang menyasar Jokowi dan Trump, namun menurut Jafar Karim, hal itu belum tentu bersumber dari production house yang sama.



Faktanya, isu agen Russia dan anti Islam yang menyasar Donald John Trump, tidak mampu membendung kemenangannya sebagai Presiden Amerika Serikat ke-45.

Hendropriyono Official Site Sang Jendral. Yang menjadi prof Intelijen pertama di Dunia

Disqus Comments