Jenderal TNI (Purn.) A.M. Hendropriyono pada tahun 1968 pernah bertugas di Kalimantan Barat (1968) sebagai perwira muda dari pasukan elite Puspassus (cikal bakal Kopassus sekarang). Ketika itu ia tergabung dalam Detasemen Tempur 13 yang ditugasi melaksanakan operasi para-komando. Di masa penugasan yang kedua ia tergabung dalam Satuan Tugas 42 yang diberi tanggung jawab melaksanakan operasi Sandi Yudha. Pada masa itulah Hendropriyono menerapkan taktik anti-inserjensi dan klandestin yang disebut ”Operasi Balik”, yaitu operasi yang menghadapkan musuh dengan musuh.
Tugas pasukan Sandi Yudha adalah melaksanakan perang inkonvensional, perang yang tidak tunduk kepada hukum internasional. Inconventional warfare yang pernah terjadi di medan pertempuran Kalimantan Utara (Inggris) dan kemudian di Kalimantan Barat (Indonesia), diceritakan Hendropriyono dalam konteks siasat, yaitu metode yang mencakup tataran strategi sampai tataran taktis/teknis operasional.
Dengan melakukan kilas balik ingatan terhadap pelaksanaan operasi Sandi Yudha sekitar empat dekade yang lalu, diharapkan kita bisa menemukan metode yang paling tepat dalam perang teror-anti teror pada masa kini.
Tugas pasukan Sandi Yudha adalah melaksanakan perang inkonvensional, perang yang tidak tunduk kepada hukum internasional. Inconventional warfare yang pernah terjadi di medan pertempuran Kalimantan Utara (Inggris) dan kemudian di Kalimantan Barat (Indonesia), diceritakan Hendropriyono dalam konteks siasat, yaitu metode yang mencakup tataran strategi sampai tataran taktis/teknis operasional.
Dengan melakukan kilas balik ingatan terhadap pelaksanaan operasi Sandi Yudha sekitar empat dekade yang lalu, diharapkan kita bisa menemukan metode yang paling tepat dalam perang teror-anti teror pada masa kini.