Oleh AM Hendropriyono
Pendahuluan
Interaksi sosial global di era ini diwarnai oleh benturan dua peradaban (civilization) besar dunia, yaitu antara Barat versus Timur Tengah. Peradaban lain tidak berada dalam posisi yang berbenturan, karena agama yang membawa peradaban tersebut tersebar hanya dalam arena lokal.
Perebutan hegemoni kultural di arena global berubah dari bentuknya yang abstrak menjadi kongkrit, dalam wujud terorisme yang mengakibatkan jatuhnya korban jutaan umat manusia yang tidak tahu apa-apa (innocent persons) berikut harta bendanya.
Sebagai suatu realitas kongkrit terorisme sama sekali tidak mengandung kebenaran, kecuali bagi dirinya sendiri. Terorisme menjadi subur dan tumbuh berkembang di mana-mana, dalam atmosfir perang masa kini yang cenderung bersifat asimetrik.
Perang asimetrik merupakan metamorfosa dari sifat lamanya, yang seimbang di dalam hal kemampuan, susunan dan gelar kekuatan. Perang asimetrik tidak lagi mengenal masalah teritorial dari tiap negara kebangsaan, sehingga ancaman terhadap kedaulatan negara-bangsa Indonesia jadi demikian rumit dan kusut.
Kekusutan tersebut secara lambat tetapi pasti makin merubah paradigma pemikiran manusia, sehingga makna dari terminologi pengkhianat kini dapat menjadi pahlawan dan sebaliknya.
Para pemimpin bangsa di negara-negara berkembang yang telah berjuang mempersatukan bangsanya untuk menghadapi musuh eksternal, kini banyak yang digelandang sebagai pengkhianat ke Mahkamah Kriminal Internasional di Den Haag.
Sementara itu, kolonialis Belanda misalnya, yang dulu menjajah Republik Indonesia kita ini selama lebih dari 3,5 (tiga setengah) abad, kini merupakan tempat untuk mengadili para ‘pendekar’ bangsa dari negara-negara berkembang dunia, dengan tuduhan telah melanggar Hak Azasi Manusia (HAM) berat.
Pengaruh perkembangan paradigma pemikiran demikian yang semula terbatas di kalangan elit politik global, kini bertambah jauh merasuk ke alam pemikiran masyarakat negara bangsa Indonesia, sehingga mulai menggoyahkan nilai dasar yang terkandung dalam 4 (empat) pilar kebangsaan kita.
Dengan berpedoman pada ke-empat pilar kebangsaan tersebut, kita terus berjuang untuk mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia.
Mulai goyahnya konsep nilai dasar dalam benak para elit masyarakat bangsa kita, disebabkan oleh dahsyatnya arus globalisasi kontemporer yang melanda seluruh dunia dan rentannya ketahanan nasional kita sendiri.
Untuk itu kita telah berusaha menyelamatkan diri dengan melakukan reformasi nasional, yang bergulir sejak 1998. Dengan reformasi damai yang tanpa pertumpahan darah kita kini hidup di alam demokrasi, namun masih dalam posisi terjepit antara kolektivisme Pancasila dengan individualisme Liberal.
Di titik inilah sekarang bangsa Indonesia berada, yaitu di suatu himpitan imajiner pada tataran filsafati yang serba dilematis.
Teori perang konvensional mengajarkan, bilamana kita berada dalam jepitan antara konsentrasi dan barase tembakan musuh, maka cara terbaik untuk melepaskan diri adalah mempercepat gerakan untuk mencapai tujuan atau sasaran.
Cara atau metode seperti itu secara kontekstual dapat kita bahas, dengan menggunakan pendekatan ‘pola-pikir’ sistem ketahanan nasional (Han Nas).
Dengan pendekatan tersebut kita tempatkan penurunan nilai-nilai kebangsaan Indonesia sebagai input (yaitu kenyataan aktual) dan meningkatnya kembali nilai-nilai kebangsaan kita sebagai output (hasil usaha) yang diharapkan.
Adapun pertanyaan yang harus dijawab adalah, pertama, masalah apa yang menyebabkan menurunnya nilai-nilai kebangsaan bangsa Indonesia. Kedua, upaya apa saja yang harus dilakukan oleh negara-bangsa Indonesia, untuk meningkatkan kembali nilai-nilai kebangsaan kita. Ketiga, upaya spesifik apa yang harus dilakukan oleh Perguruan Tinggi (Civitas Academika), dalam upaya revitalisasi nilai-nilai kebangsaan.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, beberapa pedoman yang harus dipegang teguh adalah nilai-nilai yang terkandung di dalam 4 (empat) pilar kebangsaan kita yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika.
Dengan ke empat pilar itu kita bersiasat, untuk mencapai tujuan nasional. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan antara lain adalah perkembangan keadaan lingkungan strategik di era mana kita semua saat ini berada. Lingkungan strategik itu meliputi perkembangan keadaan pada tataran global, nasional dan regional (daerah).
Paguyuban versus Individualisme
Perkembangan keadaan lingkungan strategis bangsa Indonesia dewasa ini terus bergerak, ke arah liberal demokrasi yang menjunjung tinggi panji-panji individualisme.
Filsafat hidup masyarakat paguyuban Indonesia yang bersifat komunal dalam bentuk gotong-royong, kini didera oleh filsafat demokrasi yang berbentuk liberal.
Liberalisme yang tercanangkan sejak 1998 di negara kita, telah memerdekakan masyarakat bangsa Indonesia dari rasa takut.
Kebebasan dari rasa takut inilah yang menghantarkan kita kepada kebebasan untuk berserikat, kebebasan untuk beragama dan berkeyakinan, serta kebebasan manusia untuk menyatakan pendapat.
Kebebasan-kebebasan tersebut merupakan hak yang paling azasi dari seluruh umat manusia di dunia, untuk memilih hari depannya masing-masing.
Kebebasan terhadap hari depan mereka tersebut, sama sekali bukan berarti kebebasan untuk melakukan apa saja. Eforia kebebasan yang tak berkesudahan sampai sekarang, telah membawa masyarakat kita tenggelam dalam anarkisme yang makin merebak.
Pelajaran mahal dapat kita ambil dari peristiwa yang terjadi di berbagai negara bangsa di Timur Tengah. Konsep demokrasi liberal sebagai teori politik yang penuh dengan nilai-nilai etika, dalam tataran praktik di negara-negara Timur Tengah ternyata berbentuk revolusi yang berlumuran dengan darah dan air mata.
Implementasi teori politik liberal demokrasi seperti itu merupakan praktik ‘liar’ yang value free (bebas nilai),yang jauh dari kandungan praksis (praktek yang terikat pada nilai dasarnya).
Praktik liar demikian itu juga dapat terjadi di Republik Indonesia, jika teori politik demokrasi liberal yang melanda masyarakat kita sejak 1998 tidak disesuaikan dengan kearifan lokal kita sendiri.
Kita perlu selalu waspada agar teori politik demokrasi liberal yang terus berkembang dalam masyarakat bangsa kita, tetap melalui proses akulturasi budaya masyarakat. Akulturasi budaya kita terhadap niai-nilai liberal adalah proses penyesuaian nilai-nilai yang diusung oleh kebudayaan kontemporer, ke dalam peradaban kita yang nilai-nilai dasarnya terkandung dalam 4 (empat) pilar kebangsaan.
Dengan melalui proses akulturasi maka ketahanan kebudayaan kita dapat menjamin, terselenggaranya setiap perubahan dalam masyarakat dari waktu ke waktu dengan aman dan damai.
Akulturasi budaya mengandung dua saringan pokok, yaitu Pancasila sebagai Local genius bangsa kita dan Gotong-royong sebagai Local Wisdom (kebijakan lokal) masyarakat kita yang ber ‘Bhinneka Tunggal Ika’.
Bersatu dalam perbedaan itu yang dimaksud dengan ‘pluralisme’ dalam masyarakat kita, sehingga melahirkan konsep ‘Gotong-royong’. Masyarakat gotong-royong tersebut bernaung di wadah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yaitu negara hukum, yang telah menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi negara.
Namun praktik liar liberalisme ternyata terus berkembang ke berbagai aspek kehidupan kenegaraaan kita, sehingga kebebasan yang diusungnya semakin berkembang menjadi anarkisme, yang membahayakan nilai-nilai luhur dari teori demokrasi liberal itu sendiri.
Anarkisme dalam masyarakat kita berbentuk diktator mayoritas, yang menghakimi kaum minoritas dengan hukumnya sendiri. Hal ini disebabkan oleh ‘kebingungan filsafati’ yang diderita oleh sekelompok masyarakat bangsa kita.
Local Genius dari bangsa Indonesia yang bersifat komunal, kini sedang berhadapan dengan perkembangan keadaan lingkungan strategik yang bersifat individualistik.
Kesepakatan sosial kita pada 1986 sebenarnya cukup memberi ruang bagi setiap perubahan, dengan menetapkan Pancasila sebagai ideologi terbuka.
Sebagai ideologi terbuka Pancasila dapat didekati dari liberalisme, melalui amandemen konstitusi. Namun materi setiap amandemen konstitusi harus selalu dapat diuji sewaktu-waktu terhadap filsafat Pancasila, seperti undang-undang kita yang selalu dapat diuji secara materi terhadap Undang-Undang Dasar melalui Mahkamah Konstitusi.
Kurangnya kewaspadaan untuk dapat mempertahankan Pancasila sebagai roh setiap amandemen undang-undang dasar, menunjukkan bahwa telah semakin tipisnya kandungan praksis Pancasila dalam praktik kehidupan kebangsaan kita.
Untuk itu revitalisasi kebangsaan merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak, dalam bentuk usaha-usaha peningkatkan nilai-nilainya.
Meningkatkan Nilai-nilai Kebangsaan
Nilai secara subjektif dapat diartikan sebagai selera atau citarasa yang dinikmati oleh manusia, misalnya terhadap rasa dari buah durian.
Bagi orang Indonesia, nilai durian begitu tinggi karena kita menikmatinya. Sedangkan bagi orang Barat (caucasian) baunya yang harum itu dinilainya busuk dan memuakkan.
Demikian pula tradisi kita berupa Mikul Duwur Mendem Jero, memberikan nilai yang tinggi kepada para pahlawan bangsa yang telah berjasa kepada bangsa Indonesia dan dapat memaafkan serta melupakan kekhilafannya.
Adapun bagi bangsa Barat tradisi seperti itu mungkin memuakkan, karena bagi mereka sudah biasa hal yang kebalikannya terjadi, yaitu ‘Panas Setahun Hapus Oleh Hujan Sehari’, sehingga bisa terjadi walaupun pahlawan kesumabangsa telah wafat, jasadnya dibongkar dan dikeluarkan dari Taman Makam Pahlawan.
Padahal penilaian kepada pahlawan atau pengkhianat itu tidak boleh terlepas dari konteks waktu dan juga harus bersifat objektif.
George Washington misalnya, yang merupakan Bapak Bangsa Amerika, semasa bergeloranya semangat kemerdekaan, dinilai sebagai seorang teroris oleh Inggris dan Perancis. Jika saja waktu itu dia tertangkap, niscaya ia akan digantung sampai mati. Dia adalah pelanggar HAM berat, karena menembaki rombongan delegasi Perancis yang datang untuk berunding.
Untuk itu apakah layak jika kemudian bangsa Amerika di jaman sekarang harus meminta maaf kepada Perancis atas kesalahan itu? Tentu saja mengharapkan hal seperti itu akan dilakukan oleh pemerintah Amerika, merupakan sesuatu yang sangat mustahil.
Sebab, penilaian terhadap George Washington di zaman dulu dengan zaman berikutnya yang berbeda, tentu saja tidak mungkin sama. Itulah yang dimaksud dengan konteks waktu.
Adapun yang dimaksud dengan objektif adalah melihatnya dari sudut sasaran atau object-nya. Para keluarga korban yang merupakan objek terorisme misalnya, tidak perduli apakah pahlawan atau pengkhianat yang telah membunuh keluarganya yang tidak tahu apa-apa. Mereka menilai pembunuhnya adalah teroris. Itulah yang dimaksud dengan penilaian objektif.
Penilaian yang sesuai dengan waktu dan bersifat objektif terhadap ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan yang dihadapi, merupakan nilai-nilai kebangsaan kita yang bersifat sangat mendesak untuk segera ditingkatkan.
Sosialisasi Pancasila harus dimulai dari para penyelenggara negara, bukan dari para pelajar Taman Kanak-kanak. Penanaman nilai-nilai kebangsaan harus dimulai dari atas, yang lebih mengikuti sistem top down ketimbang bottom up.
Alasannya sederhana saja, karena kita menghendaki revitalisasi nilai-nilai kebangsaan untuk Indonesia yang sekarang, bukan Indonesia di masa yang akan datang. Masa yang akan datang ditentukan oleh perilaku kita sekarang, bukan sebaliknya.
Tanpa langkah-langkah yang cepat (velox) dan tepat (exactus), kita akan tenggelam di dalam arus perang kultural antara Barat dan Timur Tengah. Barat bersenjata kapital ekonomi, sedangkan lawannya bersenjata agama.
Pengaruh perang di arena global terhadap Indonesia terasa sejak dua dekade terakhir. Intelijen Negara Republik Indonesia sejak dini telah menditeksi kemunculan LSM-LSM nasional yang se-aliran dengan civil society (masyarakat ‘sipil’) Barat dan organisasi-organisasi massa lokal yang se-ideologi dengan jaringan supra-nasional (non-negara) al-Qaeda.
Kedua aliran internasional kontemporer tersebut berbenturan di negara kita, yang secara empirik berupa serangkaian peledakan bom sejak malam Natal tahun 2000.
Korban yang berjatuhan sebahagian terbesar adalah bangsa Indonesia yang tidak bersalah, bahkan tidak tahu apa-apa, dalam masalah yang dipersengketakan.
Terorisme yang bak patah tumbuh hilang berganti ini hidup dengan subur di lahan yang merupakan habitatnya. Habitat terorisme adalah masyarakat anarkis.
Anarkisme telah merajalela dalam perbuatan ‘main hakim sendiri’ dari kelompok-kelompok kecil masyarakat, terhadap golongan lain yang tidak sealiran dengannya.
Saling menyakiti, saling merusak dan saling membunuh terjadi di Ambon dan Poso serta beberapa wilayah lain di Indonesia.
Demikian pula telah terjadi bentrokan antar masyarakat di wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Lampung dan lain-lain tempat, yang dikenal publik sebagai ‘konflik horizontal’, telah berlangsung tanpa keterikatan pada hukum positif.
Suatu pertanyaan yang tidak pernah terjawab adalah siapa yang memberi mandat kepada kelompok tersebut, untuk mengadili berbagai fenomena sosial yang terdapat di negara berdaulat yang multi-kultural ini?
Konflik-konflik bernuansa suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) merupakan buah dari kebebasan yang tersesat.
Kebebasan yang tersesat adalah pemahaman bahwa ‘bebas’ berarti dapat berbuat semau-maunya. Padahal hakikat kebebasan adalah kebebasan dari rasa takut, kebebasan untuk berserikat, kebebasan untuk menyampaikan pendapat dan kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri.
Pertanyaan berikutnya adalah mengapa perampasan kedaulatan hakim dan pengambil alihan kewenangan serta kewajiban aparat penegak hukum oleh sekelompok kecil masyarakat itu dibiarkan terus berlangsung tanpa gugatan?
Di mana gerangan letak kesalahan yang mendatangkan penderitaan terhadap rakyat sekarang ini?
Kesalahan justru terletak pada masyarakat mayoritas kita yang membiarkan atau tidak berbuat apa-apa, terhadap penghancuran nilai-nilai luhur yang selama ini kita junjung bersama.
Hakikat nilai-nilai luhur kita adalah citarasa pribadi bangsa, yang beretika hidup guyub (rukun) bersama dalam pluralisme masyarakat.
Masyarakat mayoritas adalah tulang punggung suatu bangsa, yang harus bertindak selaku subjek, dalam mempertahankan nilai-nilai dasar kebangsaannya.
Nilai-nilai dasar yang kita junjung tinggi terkandung dalam Pancasila sebagai sumber dari segala hukum, yang berlaku di Indonesia sebagai suatu norma.
Dengan norma hukum, maka pemerintahan negara mempunyai legalitas, untuk melakukan upaya paksa agar masyarakat memahami sesuatu sebagai benar dan salah.
Karena itu setiap peraturan perundangan harus teruji oleh Pancasila, sesuai dengan adagium Lex Superiori derogat Legi Inferiori (bahwa hukum yang lebih tinggi membawahi hukum yang lebih rendah).
Jika suatu amandemen UUD negara bertentangan dengan Pancasila, maka otomatis undang-undang dasar hasil amandemen tersebut tidak dapat diberlakukan di pelosok daerah manapun di Indonesia.
Dengan demikian maka setiap amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak sesuai dengan Pancasila, harus dapat dibekukan atau diamandemen kembali.
Untuk mengaitkan nilai-nilai kita itu dengan kebangsaan, perlu kita bahas secara ringkas apakah yang dimaksud dengan kebangsaan dan apakah nilai-nilai kebangsaan itu.
Kebangsaan atau nasionalisme adalah suatu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara, dengan mewujudkan suatu konsep identitas bersama dari para warganya.
Menurut Jean-Jacques Rousseau negara memperoleh keabsahannya, karena kehendak dari rakyatnya sendiri, sehingga nasionalisme jenis ini dikenal sebagai nasionalisme-sipil (Rousseau, 2009).
Oleh karena itu maka kekuatan negara terletak pada rasa persatuan dari warga negaranya, yang hidup di dalam suatu teritori-geografis tertentu.
Biasanya semakin besar adanya ancaman yang sama terhadap kehidupannya, semakin besar pula rasa kebangsaan mereka.
Di samping itu, rasa kebangsaan kerapkali juga dapat tumbuh berkembang, dari antara sekelompok orang yang hidup di teritori-geografis yang berbeda, namun mempunyai kesamaan etnik, budaya, agama atau kesatuan ideologi.
Kesatuan ideologi bagi kita terwujud dalam Pancasila, yang merupakan local genius bangsa Indonesia, yang digali dari kebudayaan kita sendiri.
Dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu, kita telah mampu merebut dan kemudian mempertahankan kebebasan untuk merdeka dari kolonialisme.
Arti dari kebebasan yang kita perjuangkan dan pertahankan adalah bebas dari rasa takut, bebas untuk berserikat, bebas untuk berbicara dalam menyampaikan pendapat dan bebas untuk memilih agama atau keyakinan kita masing-masing.
Pada hakikatnya semuanya itu bermuara pada kebebasan, untuk menentukan nasib kita sendiri. Kebebasan itu bukan berarti setiap individu bebas untuk berbuat sekehendak hati atau semau-maunya, sehingga mengganggu kebebasan orang lain.
Kebebasan yang semau-maunya terbukti telah menyeret masyarakat paguyuban kita ini, menjadi masyarakat anarkis yang hedonistik.
Hedonisme adalah suatu aliran yang mengutamakan kesenangan hidup untuk mencapai kenikmatan dirinya sendiri, sehingga merendahkan kepentingan orang lain.
Aliran tersebut mengabaikan keadaan lingkungan, tempat mereka hidup bermasyarakat. Kaum hedonis yang menentang kodrat manusia sebagai mahluk individu sekaligus mahluk sosial, merupakan predator bagi persatuan kebangsaan atau nasionalisme kita.
Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang bermoral Ketuhanan yang Maha Esa, nasionalisme yang humanistik yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan.
Oleh karena itu nilai-nilai nasionalisme kita harus tercermin dalam segala aspek penyelenggaraan negara dalam era demokrasi ini.
Demokrasi yang liar tanpa mendasarkan diri pada moral Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dapat membawa kehancuran bagi negara-bangsa Indonesia (Kaelan, 2006:18).
Dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 Presiden Soekarno semula menempatkan nasionalisme di nomor satu dari deretan lima nilai Pancasila.
Menurut Franz Magnis Suseno (2006:160) alasan Soekarno dulu adalah untuk menyadarkan bahwa "Kita ini satu Bangsa, Bangsa Indonesia". Masyarakat yang beraneka ragam yang hidup di kepulauan Nusantara antara Asia dan Australia/Oseania, di tempanya agar mempunyai perasaan menjadi satu bangsa yang bernama Indonesia.
Nasionalisme bagi Bung Karno adalah cinta sepenuh hati kepada Indonesia dan rasa bangga kita sebagai ‘Orang Indonesia’. Sehingga kalau ditanya, “Berapa jumlah bangsa Indonesia?” Haruslah dijawab, “Satu! Hanya Satu!”
Namun apa yang terjadi kini adalah nasionalisme terkesan hanya diangkat, untuk kepentingan para elite politik mempopulerkan diri sendiri untuk saling memperebutkan kedudukan dan kekuasaan.
Nasionalisme kita sekarang menghadapi dua ancaman: Imperialisme global di satu pihak dan Fundamentalisme ideologi-agama di lain pihak.
Imperialisme global menilai identitas bangsa Indonesia sebagai tradisi yang ketinggalan zaman, sedangkan kaum ideologi-agama menilai pluralisme bangsa kita sebagai hal yang menyalahi akidah. Mereka lupa bahwa Pancasila dapat mengadopsi modernisasi dengan anthusias, namun menolak individualisme liberal yang egoistis.
Pluralisme bangsa kita merupakan kekayaan budaya, yang berinteraksi sosial dengan penuh toleransi. Dengan nilai-nilai tersebut kita justru mempunyai jatidiri sosial yang utuh, untuk mampu berperanan penting dalam percaturan politik global.
Keutuhan jatidiri sosial kita merupakan integrasi dari lapisan-lapisan keluarga, marga, kampung, daerah, penganut kepercayaan lokal, umat beragama universal, jaringan berbagai golongan dan profesi serta bangsa Indonesia yang raya (besar).
Kebudayaan kita yang berlapis-lapis itu, terbuka bagi kebudayaan manapun melalui proses akulturasi budaya yang etis, yang aman dan tertib.
Dengan ideologi yang terbuka terhadap budaya modern yang positif, maka jatidiri sosial manusia Indonesia justru semakin siap, kuat dan mantap menghadapi globalisasi.
Sebaliknya, apabila kita tidak siap, tidak suka, tidak mau menerima globalisasi sebagai suatu realitas keadaan dan membawa jatidiri bangsa kita ke dalam eksklusifisme ideologis, pintu komunikasi yang kita tutup itu akan dijebol oleh kerasnya arus globalisasi.
Karena itu maka konsep eksklusivitas ideologis yang menjangkiti sekelompok masyarakat kita dewasa ini juga harus dihadapi, dengan penghayatan sosial tentang nilai-nilai kebangsaan kita yang menolak chauvinisme.
Wawasan kebangsaan kita juga harus mampu menghadapi mereka yang buta nilai, akibat fanatisme sempit dalam melihat segala sesuatu dengan hanya melalui kaca-mata agamanya semata-mata.
Fanatisme demikian seolah-olah petinju yang sedang bertanding di atas ring, tetapi masih juga menengok-nengok kepada pelatihnya untuk selalu bertanya apa yang harus diperbuat dalam melepas tinju demi tinjunya.
Petinju normal harus sudah mengerti nilai-nilai pukulan demi pukulan, sebagaimana yang telah dihayatinya. Petinju bodoh tidak mau menggunakan daya nalar yang merupakan berkah dari Allah SWT, dengan masih saja waswas terhadap realitas. Akibatnya, dia dapat menderita pukulan bertubi-tubi dan jatuh knocked out.
Rasa kebangsaan seorang manusia Indonesia dapat terlihat secara kasat mata antara lain, ketika ia terharu bangga melihat bendera merah-putih negaranya berkibar di arena internasional karena memenangkan pertandingan matematika atau olah raga dunia.
Juga, ketika ia bersikap sempurna, mendengar lagu kebangsaannya berdengung resmi di arena internasional. Rasa kebangsaan yang demikian ini harus terus dibina untuk menghadapi fanatisme sempit, yang mengharamkan penghormatan kepada bendera negara dan lagu kebangsaan kita sendiri.
Bendera dan lagu kebangsaan Indonesia Raya bukan berhala yang untuk disembah, tetapi merupakan simbol dari bangsa Indonesia ciptaan Allah yang wajib kita cintai, homati dan banggakan di setiap tempat dan keadaan bagaimanapun.
Dalam kondisi dilematis dan rancu terhadap nilai-nilai ini, rasa kebangsaan Indonesia walau sudah demikian tipis tetapi masih ada. Hal ini terlihat ketika kebijakan menaikkan harga BBM dirasakan menambah penderitaan rakyat, demonstrasi massa lebih banyak yang cenderung menolak untuk menjatuhkan pemerintah sebelum waktu kekuasaannya habis.
Rakyat masih punya harapan kepada Kepala Negara dan para pimpinan nasional serta para elit, untuk membawa mereka keluar dari keterpurukannya. Korupsi nasionalisme untuk popularitas diri atau menutupi kelemahan kelompoknya sendiri, harus diakhiri sekarang juga.
Tidak perlu mencari muka kepada dunia internasional seolah-olah sadar HAM, dengan meminta maaf terhadap pelanggaran HAM masa lalu yang tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintahan sekarang.
Justru yang harus dilakukan pemerintahan yang sekarang, adalah agar tidak melanggar Hak Azasi Manusia di dalam setiap pemecahan permasalahan bangsa.
Masa lalu mengandung nilai-nilai yang sangat berharga untuk bangsa masa kini, dan masa kini mengandung nilai-nilai yang sangat berharga untuk bangsa di masa depan. Bukan malah masa kini harus terus melihat ke masa lalu, bak mengemudikan mobil dengan terus melihat ke kaca spion.
Logikanya sederhana saja, pemerintahan Belanda yang sarat dengan pelanggaran HAM masa lalu, sekarang justru menjadi tempat bersemayamnya International Criminal Court of Justice (Mahkamah Kriminal Internasional) tanpa adanya permintaan maaf terlebih dahulu kepada bangsa-bangsa jajahannya seperti bangsa Indonesia.
Kita di era globalisasi ini harus berani menolak nilai-nilai kosong imperialisme seperti itu, yang kini masih memegang hegemoni kultural di hampir seluruh fora internasional.
Nilai-nilai kebangsaan kita sendiri harus dengan bangga dan gagah berani kita tunjukkan kepada para elit bangsa-bangsa adikuasa Barat, yang kini sudah semakin menjauh dari nasihat bijak para orang tua kandung mereka sendiri yang menyatakan: “You Have To Respect Your Parents, Because They Bring You Life” (Kalian harus hormati orangtua kalian, karena mereka yang membawa kehidupan kepada kalian).
Mereka mungkin dapat berargumen, bahwa yang mereka jebloskan ke penjara adalah para orangtua bangsa Asia, Afrika, Amerika Latin, Eropa Timur dan bangsa-bangsa negara berkembang lain, bukan orangtua mereka sendiri.
Mereka juga lupa akan teori seorang filsuf besar Hegel yang berbicara tentang dialektika, sebagai proses alami dalam kehidupan ini. Bahwa tesis hidup dari antitesis yang ditolaknya, dan sintesis hidup dari antitesis yang ditolaknya.
Jika kita menolak segala warisan masa lalu bangsa kita, jangan lupa bahwa kita hidup dari masa lalu yang kita tolak itu. Dengan selalu mengingat hal yang demikian, maka langkah-langkah kita ke depan kelak akan lebih baik daripada sekarang.
Ringkasnya, pemerintah negara adidaya selamanya ingin terus menjadi guru, tapi hanya dengan cara ‘memberi’ contoh yang baik, tanpa kemampuan untuk ‘menjadi’ contoh yang baik.
Hukum internasional yang semula tidak mempunyai kemampuan upaya paksa, kini semakin cenderung menjadi hukum positif global. Hal tersebut karena dukungan dari kekuasaan politik dalam negeri negara-negara berkembang sendiri, yang penuh dengan jegal-menjegal dan saling membangun dendam politik antar rejim.
Bukan budaya bangsa kita, jika kita merasa puas dan gembira menggelandang bekas pemimpin bangsanya ke belakang terali besi. Bangsa Indonesia niscaya menangis sedih, jika pemimpin bangsanya sendiri akhirnya harus masuk penjara.
Betapapun kesalahan Bung Karno dan pak Harto, rakyat Indonesia tidak pernah sampai hati, untuk menjebloskan mereka sebagai narapidana politik. Itulah antara lain kebudayaan bangsa kita, yang kerapkali sulit dapat diterima oleh nalar kebanyakan bangsa asing.
Kebudayaan Indonesia yang unik terbukti juga, ketika Presiden Sukarno mengampuni Daniel Alexander Maukar yang menembaki dirinya dari pesawat tempur MIG 17, bahkan dua orang penerbang CIA berkebangsaan Amerika bernama Allan Lawrence Pope dan juga Michael Powers, yang membom negara Republik Indonesia pada 1958.
Demikian pula amnesti nasional yang diberikan kepada para pengikut DI/NII, PRRI dan Permesta yang pernah melancarkan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah RI.
Kebudayaan asli Indonesia seperti itulah antara lain yang telah digali oleh Bung Karno sebagaimana juga halnya yang dilakukan oleh para pemimpin pendiri bangsa Indonesia, dalam mewujudkan Pancasila sebagai fisafat bangsa.
Sebagaimana keberadaan Mahkamah Konstitusi yang berfungsi menguji materi berbagai undang-undang terhadap UUD 1945, kita juga memerlukan lahirnya Mahkamah Ideologi yang berfungsi menguji materi setiap amandemen UUD 1945 terhadap filsafat Pancasila.
Dengan adanya Mahkamah Ideologi, maka pengawasan terhadap dinamika perubahan, dapat lebih sistemik dan setiap perkembangan keadaan lingkungan dapat memberikan keuntungan strategis kepada negara-bangsa kita.
enjabaran dari filsafat bangsa pada tataran praktik, harus merupakan pembinaan atau penggalangan terhadap disiplin sosial.
Disiplin sosial dalam pemerintahan negara dengan mentalitas (moral dan moril) Pancasila, yang ditopang oleh profesionalisme dalam aspek-aspek kehidupan kebangsaan kita, akan melahirkan rasa persatuan-kesatuan bangsa yang senantiasa kokoh dari jaman ke jaman.
Karena itu diperlukan Dwifungsi Sipil di mana masyarakat bangsa kita, harus berfungsi juga dalam aspek keamanan selain aspek kesejahteraan. Untuk itu perlu dibentuk Polisi Daerah yang dikomando dan kendalikan langsung oleh Kepala Daerah. Polri yang ada sekarang tetap merupakan alat negara, yang berfungsi menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat pada tataran pusat.
Dwifungsi Sipil juga mensyaratkan kewajiban setiap warga negara, untuk mempertahankan kedaulatan negara. Karena itu peraturan perundangan tentang Bela Negara perlu dijabarkan secara operasional, dalam bentuknya yang empirik.
Revitalisasi Nilai-nilai Kebangsaan
Setidaknya ada empat hal yang bisa dilakukan kalangan civitas academica sebagai langkah nyata memperkuat nilai-nilai kebangsaan.
Pertama, menanamkan militansi jiwa kepada para mahasiswa, sehingga proses belajar-mengajar dapat terselenggara secara antusias dan riang gembira. Suasana demikian merupakan metode terbaik untuk menempa mental, yang terdiri atas moral dan moril dari segenap civitas akademika. Moral dan moril membentuk semangat toleransi, yang jauh dari diskriminasi SARA (Kesukuan, agama, ras dan antar golongan).
Kedua, membiasakan hidup dengan kekokohan disiplin lahir dan batin, aktif dan pasif, yang terselenggara dalam keseharian pergaulan intra dan ekstra universiter.
Ketiga, menggalang terus menerus L’esprit de Corps (ikatan jiwa korsa) di antara civitas akademika, sehingga terjalin kekuatan yang sinergis. Sinergisitas kekuatan ini diperlukan, untuk menghadapi berbagai macam bentuk ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan terhadap universitas.
Keempat, meningkatkan mutu universitas, sehingga mampu menghasilkan output yang berupa para cendekiawan muda dalam berbagai disiplin ilmu, yang tanggap (peka) dalam menghadapi perkembangan keadaan lingkungan strategis, tanggon (tabah) dalam menghadapi berbagai macam kesulitan dan trengginas (tangkas) dalam mencapai sasaran-sasaran hidupnya.
Untuk itu dengan segala kerendahan hati saya mengusulkan, agar setidaknya ada salah satu perguruan tinggi kita yang merubah sifat universitasnya menjadi suatu Military University, di mana kehidupan militer diterapkan di kalangan universitas.
Untuk itu, dapat merujuk pada berbagai universitas di luar negeri yang telah berhasil gemilang, dalam menerapkan kehidupan yang penuh semangat, disiplin, jiwa korsa dan prestasi akademik para mahasiswanya.
Di Universitas Militer Norwich misalnya, kehidupan militer yang penuh disiplin seperti penghormatan perorangan terhadap sesama civitas akademika dan hal-hal lain yang sesuai dengan Peraturan Penghormatan Tentara ditegakkan.
Hal ini untuk mendidik para mahasiswa agar kelak di masyarakat telah terbiasa menghormati dan menghargai atasan, sesama teman dan bawahannya.
Meskipun lulusan universitas militer adalah para sarjana dan pasca sarjana sipil, namun selama kuliah mereka berpakaian militer lengkap dengan tanda pangkat sesuai senioritas kemahasiswaannya.
Mereka diasramakan layaknya dalam suatu kesatrian militer, yang kegiatan sehari-harinya harus memenuhi berbagai ketentuan dalam Peraturan Disiplin Tentara. Setiap hari para mahasiswa dapat berolah raga militer yang disebut Combat Sport, di samping olah raga rekreasi lainnya.
Mereka melakukan apel pagi, siang, malam dan latihan baris berbaris. Dengan ditegakkannya apel, para mahasiswa akan terbiasa dalam kehidupan yang terkendali dengan baik.
Mereka tidak dibenarkan membolos atau mencontek, merokok apalagi kecanduan narkotika dan bertanggungjawab atas hal-hal yang dilakukannya.
Latihan baris berbaris membiasakan para mahasiswa untuk berjalan dan bergerak dalam tim secara kompak, seirama dengan kawan-kawannya dan melaksanakan perintah seketika itu juga.
Di samping para mahasiswa dibina agar memiliki jiwa militan dalam menjalani kehidupannya sebagai masyarakat sipil, mereka juga dilatih untuk siap memenuhi panggilan pengabdian sebagai anggota militer.
Di samping kuliahnya sehari-hari mengenai berbagai macam disiplin ilmu, mereka dilatih menggunakan berbagai jenis persenjataan militer, perlengkapan militer seperti menerbangkan helikopter-helikopter tempur, menembak dengan senjata ringan sampai dengan meriam kaliber berat dan peluru kendali, mengemudikan tank dan berbagai macam kendaraan lapis baja, serta melakukan gerakan mulai dari pertempuran perorangan sampai dengan taktik bertempur dalam hubungan kompi.
Latihan-latihan tersebut diselenggarakan dengan bantuan alat-alat atau mesin-mesin simulasi, yang sangat menarik bagi para mahasiswa untuk memainkannya.
Merujuk pada berbagai universitas militer di luar negeri yang rata-rata berstatus swasta, konsep ini mungkin juga dapat merupakan salah satu cara marketing terbaik untuk memenangkan persaingan dalam menjaring minat para pelajar.
Sebagai langkah awal diperlukan kerjasama dengan Universitas yang telah berpengalaman dan sukses menggunakan metode tersebut. Dari dalam negeri memang belum ada, kecuali pada tataran pendidikan yang lebih rendah yaitu SMA Taruna Nusantara di Magelang.
Untuk tataran ini sudah sangat banyak bertebaran di Indonesia, yang sejenis dengan Military High Schools di negara-negara Barat. Adapun untuk tingkat universitas, dapat melakukan obervasi pendahuluan ke Universitas Norwich, melalui website mereka www.Norwich.edu.
Selain itu juga TNI yang anggarannya sangat kecil akan dapat memanfaatkan para alumni universitas militer ini untuk mengisi kekurangan personil organiknya.
Tujuan pendidikan di universitas militer adalah menanamkan nilai-nilai kebangsaan pada jiwa para mahasiswanya, agar kelak dapat menjadi negarawan atau pemimpin bangsa di berbagai strata dalam beragam aspek kehidupan.
Kita memerlukan sosok pemimpin pemberani yang bersifat tegas, cepat dan tepat di dalam decisionmaking process. Sebagai cendekiawan sipil para alumni sudah siap sewaktu-waktu, untuk berpartisipasi aktif dalam konsep pertahanan rakyat semesta.
Konsep ini merupakan alternatif usaha pembangunan kekuatan (bangkuat) TNI, untuk menghadapi kemungkinan terjadinya perang fisik terbatas. Perang fisik terbatas merupakan sisa dari paradigma lama mengenai perang, karena Indonesia masih menyisakan potensi laten sengketa perbatasan dan pemberontakan bersenjata.
Daftar Bacaan
Azra, Azyumardi, Konflik Baru Antar-Peradaban: Globalisasi, Radikalisme & Pluralitas (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002).
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Yogyakarta: Penerbit Paradigma, 2006)
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan Sebuah Refleksi Sejarah (Bandung: Mizan bekerja sama dengan Maarif Institute for Culture and Humanity, 2009).
Rousseau, Jean-Jacques, Du Contrat Social (Perjanjian Sosial), diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Vincent Bero dan disunting oleh Nino Cicero (Jakarta: Visimedia, 2009).
Sudradjat, Eddy, Regionalisme, dan Ketahanan Nasional: Suatu Tinjauan dari Strategi Hankam, dalam Ichlasul Amal dan Armaidy Armawi (ed.), Regionalisme, Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998).
Suseno, Frans Magnis, Berebut Jiwa Bangsa (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006).
Web site
http://www.norwich.edu/